Minggu, 20 November 2011

ONTOLOGY PENYULUH


Menjadi seorang penyuluh agama pada dasarnya melakoni pekerjaan yang amat mulia. Bahkan jika dibandingkan dengan trend ‘profesionalitas’ guru masa kini saya masih berkeyakinan bahwa profesi  penyuluh agama Islam lebih mulia. Alasannya jelas, karena pada pribadi masing-masing penyuluh terdapat ruh dan jiwa pendidik, pengajar sekalius penyeru sesuai kadar masing-masing.
Sebagai pendidik masyarakat seorang penyuluh diberkati hati dan perangai yang lembut, pembawaan yang meyakinkan dan periang. Dengan rendah hati dia datang ke majlis-majlis ilmu dan dzikir. Kepada pertemuan yang membutuhkan sumbangsih pikirannya. Ia hadir pada acara-acara kematian, kelahiran, pernikahan dan resepsi-resepsi lainnya. Dengan santunnya kaki dan tangannya berlangkah berayun.
Sebagai pengajar dia dibekali seperangkat ilmu dan wawasan. Seperangkat keterampilan administrasi. Menyebarkan penegetahuan, menulis tentang dan untuk masyarakatnya.
Dengan menulis itu jiwanya bertambah lembut. Ia paparkan persoalan-persoalan kemasyarakatan dan coba cari jalan keluarnya.
Untuk memperluas wawasan dan keilmuannya sebagai ahli agama, seorang penyuluh dituntut untuk mengembangkan kapasitas intelektualnya melalui pendidikan-pendidikan dan latihan-latihan tertentu.
Sedang dalam kapasitasnya sebagai penyeru, ia membimbing masyarakatnya, menentukan tema, objek dan sasaran dakwah. Memahami konsep dasar, teknik, methodologi dan teori-teori kepenyuluhan . Seorang penyuluh harus mengenal betul objek dan situasi lapangan dakwahnya. Ia punya kewajiban untuk terus menghidupkan kegiatan keagamaan masyarakatnya sampai terbentuknya suatu jalinan rasa ‘’ mawaddah fi al-qurba’’. Rasa memiliki agama yang begitu dekat, rapat dan kuat .
Munculnya berbagai persoalan terkait dengan penyimpangan, penodaan dan radikalisme ajaran agama, dekadensi moral, meraja lelanya kejahatan dan kriminalitas, pergeseran nilai masyarakat yang disebabkan oleh arus globalisasi mengakibatkan tumbuhnya sikap egoisme, individualisme dan disharmonisasi antar warga perlu warna dan pemikiran dari penyuluh.
Ini adalah deskripsi tentang idealita penuyuluh agama yang baik, tentu soal kadar penyuluh seperti apakah kita? Jawabannya ada di hati kita masing-masing.
Hidup penyuluh !!! jangan ikutan eksodus ya !

Senin, 05 September 2011

Ahlussunnah Wal Jama’ah , Nahdlatul Ulama : Dwitunggal dan Seselamat-selamatnya Faham dan Ormas Keagamaan


A.     Deskripsi Tentang Ahlussunnah Wal Jama’ah

Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah istilah yang amat sering kita dengar. Bermakna akidah (teologis) yang dianut oleh seseorang atau kelompok. Al-Qur’an sendiri sebagai kitab petunjuk kaum mslimin tidak memberikan ta’rif atau devinisi baik secra eksplisit ataupun inplisit bagi kata Ahlussunnah Wal Jama’ah itu.

Berikut ini pengertian Ahlussunnah Wal Jama’ah yaitu ;
Pertama, secara etimologis  ada 3 kata untuk dapat memamahi devinisi Ahlussunnah Wal Jama’ah yakni Ahl yang berarti pemeluk atau pengikut madzhab. Kemudian kata al-Sunnah di samping memiliki arti al-Hadits (ucapan atau cerita) ia juga  juga bersinonim dengan kata al-Sirah (sejarah) dan al-Thariqah (jalan, cara,atau metode), al-Tabi’ah (kebiasaan) dan al-Syariat (Syari’at). Dari situ kemudian kata al-Sunnah diartikan sebagai jalan Nabi SAW dan para sahabat.  Dan yang ketiga adalah al-Jama’ah yang berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Kata al-Jama’ah diidentikkan dengan penerimaan terhadap Ijma’ al-Shahabat.
Kedua, Ahl berarti keluarga, golongn atau pengikut. Al-sunnah berarti segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Nabi SAW baik perkataan, perbuatan maupun pengakuan Nabi Muhammad SAW.   Ahl al-Sunnah berarti penganut sunnah Nabi Muhammad SAW, sedangkan Ahl al-Jama’ah adalah golongan yang menganut ajaran Nabi Muhammad SAW dan jama’ah para sahabatnya.

Ajaran Nabi Muhammad SAW dan sahabat-sahabatnya itu telah termaktub dalam al-Qur’an dan    al-Sunnah nabi secara terpencar-pencar, yang kemudian dikumpulkan dan dirumuskan denga rapi oleh seorang ulama besar yaitu Syaikh Abu al-Hasan al-Asy’ary (260-324 H).

Pengertian Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti ini belum menunjukkan sikap dan identitas sebuah madzhab. Adapun pernyataan secara tegas tentang Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai kelompok atau golongan baru dapat dijumpai pada pernyataan Murtadla Al-Zabidy (w.1205 H) dia mengatakan :

ﺇﺫﺍﺃﻂﻠﻖﺃﻫﻞﺍﻠﺴﻨﺔﻭﺍﻠﺠﻤﺎﻋﺔﻔﺎﻠﻣﺭﺍﺪﺑﮫﺍﻷﺸﺎﻋﺮﺓﻭﺍﻠﻤﺎﺗﺭﺪﻴﺔ
Jika disebutkan Ahlussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah penganut al-Asy’ary dan al-Maturidy


Syaikh Abi al-Fadl ibn Abd al-Syukur mendevinisikan Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai berikut :


ﺃﻫﻞﺍﻠﺴﻨﺔﻭﺍﻠﺠﻤﺎﻋﺔﺍﻠﺫﻴﻦﻻﺯﻣﻭﺍﺴﻨﺔﺍﻠﻨﺑﻲﻭﻄﺭﻴﻘﺔﺍﻠﺻﺤﺎﺒﺔﻔﻲﺍﻠﻌﻘﺎﺌﺪﺍﻠﺪﻴﻨﻴﺔﻭﺍﻷﻋﻣﺎﻝﺍﻠﺑﺪﻨﻴﺔ 
ﻭﺍﻷﺨﻼﻖﺍﻠﻗﻠﺑﻴﺔ      

“Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah orang-orang yang selalu mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dan praktik para sahabatnya dalam masalah aqidah, amal lahiriyah dan akhlaq hati”


B.     Ahlussunnah Wal Jama’ah dan  NU sebuah Dwitunggal

Sebagaimana umum dipahami bahwa lahirnya sekte – sekte dalam Islam itu karena dilatarbelakangi oleh politik. Yakni problem suksesi pasca kepemimipinan Nabi Muhammad SAW (khilafah). Problem yang membesar melahirkan konflik. Konflik politik suksesi pasca kepemimipinan Nabi Muhammad SAW menghasilkan polarisasi madzhab yang dibangun untuk mendukung basis pemikiran dan logika masing-masing golongan.  Maka muncullah Syi’ah, Khawarij, Qodariyyah, Mu’tazilah, dan Jabbariyyah.

Patut disebutkan di sini bahwa upaya yang dilakukan oleh Khalifah Abd al-Malik Ibn Marwan     (w.86 H) dari Dinasti Umayyah untuk menyelesaikan fitnah (konflik antar faksi umat Islam)  saat itu amat brillian. Abd al-Malik kala itu berfikir integralistik, di mana ia sangat mendambakan integrasi umat Islam atas dasar kesepakatan bersama (kalimat sawa) dengan mengadakan rekonsiliasi, akomodasi, dan dialog. Maka dimunculkanlah term jama’ah yag menegaskan semangat persatuan menyeluruh (integral). Oleh karenannya diduga kuat bahwa kata al-Jama’ah yang disatukan dengan term Ahlussunnah Wal Jamaah lahir dai proses sejarah ini.

Secara historis para imam Ahlussunnah Wal Jama’ah di bidang aqidah atau kalam telah ada sejak zaman sahabat Nabi SAW (sebelum Mu’tazilah ada). Imam Ahlussunnah Wal Jamaah zaman itu adalah Ali Ibn Abi Thalib Kw yang berjasa membendung pikiran Khawarij al-Wa’du wa al-Waid    (janji dan ancaman) dan membendung pikiran Qodariyyah tentang kehendak Tuhan (masyi’ah) dan daya manusia (istitha’ah) serta kebebasan berkehendak dan kebebasan berbuat. Selain Ali ibn Abi Thalib Kw, ada juga Abdullah Ibn Umar, yang menolak pendapat kebebasan berkehendak manusia dari Ma’bad al-Juhani.

Di masa tabi’iin , muncul beberapa Imam yang mengemban misi Ahlussunnah Wal Jama ah seperti Umar ibn Abd al-Aziz yang menulis Risalah balighah fi al-Radd ‘ala al-Qodariyyah, Zayd ibn Ali Zayn al-‘Abidin, Hasan al-Bashri, al-Sya’by, dan al-Zuhri. Sesudah generasi ini muncul seorang imam Ja’far ibn Muhammad al-Shadiq.
Dari para Fuqaha dan imam madzhab fiqh, juga ada para imam ilmu kalam Ahlussunnah Wal Jamaah seperti Imam Abu Hanifah Rd dan Imam al-Syafi’I Rd. Abu Hanifah berhasil menyusun sebuah karya tulis untuk mengcounter faham Qadariyyah berjudul al-Fiqh al-Akbar . Sedangkan Imam al-Syafi’I mengkounternya melalui dua kitab yaitu :
1         Fi Tashhih al-Nubuwwat wa al-Radd ‘ala al-Barahimah
2         Al-Radd  ‘ala al-Hawa

Setelah periode Imam al-Syafi’i, ada beberapa muridnya yang berhasil menyusun faham akidah Ahlussunnah Wal Jamaah di antaranya adalah Abu a-Abbas ibn Suraij. Generasi Imam dalam kalam Ahlussunnah Wal Jamaah sesudah itu diwakili oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari yang popular disebut sebagai salah seorang penyelamat akidah keimanan, lantaran keberhasilannya membendung faham Mu’tazilah.



Dari mata rantai di atas yang sekaligus sebagai dalil historis, dapat dikatakan bahwa akidah Ahlussunnah Wal Jamaah secara substantif  telah ada sejak zaman sahabat. Artinya faham akidah Ahlussunnah Wal Jamaah itu tidak sepenuhnya akidah bawaan Imam Abu al-Hasan al-Asy’ary yang berbeda dengan akidah Islam. Apa yag dilakukan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ary adalah menyusun doktrin faham Ahlussunnah Wal Jama’ah secara sistematis, sehingga menjadi pedoman atau madzhab bagi ummat Islam. Sesuai dengan kehadirannya sebagai reaksi terhadap munculnya faham-faham yang ada pada zaman itu.

Nahdlatul Ulama (NU) merupakan organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia yang didirikan pad atnggal 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926 M di Surabaya oleh beberapa tokoh ulama terkemuka yang kebanyakan adalah pemimipin atau pengasuh pesantren. Tujuan didirikannya adalah mengusahakan berlakunya syari’at Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) menganut salah satu dari madzhab empat (Hanafi, Mlaliki, Syafi’I, dan Hanbali) baik secara qauly maupun manhajy dalam bidang Fiqh, dan mengikuti Imam al-Junaid al-Baghdady (w.297 H) dan Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazaly (450-505) dalam bidang tasawuf.

Ini berarti Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi masyarakat Islam yang secara legal formal membela dan mempertahankan Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan disertai batasan yang fleksibel. Sebagai organisasi sosial keagamaan NU adalah bagian integral wacana pemikiran sunny.

Bila kita telusuri lebih jauh,  bahwa penggagas berdirinya NU memiliki pertautan sangat erat dengan para ulama Haramain (Makkah-Madinah) pada masa di bawah kekuasaan Turki Utsmany yang ketika itu berhalauan Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Pun jika kita tinjau dari sudut pandang kesejarahan menyangkut tradisi keilmuan,perilaku hidup,karakter dan watak keberagamaannya ajaran organisasi NU merupakan pewarisan luhur risalah keagamaan yang sampai kepada kita secara teratur dan dapat dipertanggungjawabkan   (baca : memakai isnad) dari mulai Nabi Muhammad SAW, Para shahabat / Akabir al-Shahabat , Tabiin, Tabi’ al-Tabi’iin, Ulama al-Mutaqaddimin dan Ulama al-Mutaakhirin. Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa Ahlussunnah Wal Jama’ah dan Nahdlatul Ulama adalah Dwitunggal yang tak dapat dipisah-pisahkan –khususnya d Indonesia- dan masing –masingnya adalah seselamat-selamatnya Faham dan Ormas keagamaan.


Sumber :
1. Nafis, Muhammad Cholil, Bagaimana Memahami Ahlussunnah Wal Jama’ah, dalam Majalah Risalah Nahdlatul Ulama Tahun II Nomor 2 1430 H
2. Muhibbin Zuhri,Ahmad. Pemikiran KH.Muhammad Hasyim Asy’ari Tentang Ahlussunnah Wal Jama’ah, Surabaya : Khalista, 2010












                                                                                            






































Senin, 29 Agustus 2011

KHUTBAH IDUL FITHRI 1 SYAWAL 1432 HIJRIYAH :TIGA KEBAHAGIAAN DALAM MERAYAKAN IDUL FITHRI

Allahu Akbar 3X
Walillahilhamd.

Saudara-saudaraku Kaum Muslimin Rahimakumullah
Pada kesempatan yang mulia nan penuh khidmat ini, kita berkumpul di sini bersimpuh dengan penuh kerendahan jiwa di hadapan Allah SWT Yang Maha Kuasa yang telah melimpahi kita  berbagai nikmat, utamanya nikmat iman dan Islam.Kita bersimpuh dengan penuh kekhusyuan dan hati yang hadir karena Dia Allah SWT telah memberi perkenan dan izin-Nya kepada kita untuk bertemu dan beribadah sebulan penuh di bulan suci Ramadlan 1432 H.  Puncak dari ibadah itu sendiri adalah terdengarnya lantunan takbir , tahmid, tasbih, dan tahlil yang sayup-sayup sampai, bersahut-sahutan dan membahana membelah angkasa raya. Takbir,tahmid,tasbih dan tahlil itu sejatinya tidak hanya dilakukan oleh kita khusunya dari kalangan muslimin sebagai makhluq Allah SWT yang hidup, tapi turut juga mengiringi takbir kita adalah takbir, tasbih dan tahlil dari tetumbuhan, pepohonan,bebatuan, air, dan daratan, langit dan bumi serta semesta alam bertakbir memuji kebesaran dan kemuliaan Allah SWT yang Maha Suci. Allahu Akbar,Allahu Akbar, Allahu Akbar tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah SWT.

Ma'asyiral Mukminin Rahimakumullah

Tidak terasa satu bulan penuh kita menjalankan ibadah puasa Ramadlan di tahun 1432 H ini. Selama satu bulan kita telah berhasil menahan lapar dan dahaga dari mulai terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari.

Di saat bulan penuh berkah, ampunan dan rahmat ini telah pergi alhamdulillah di pagi yang penuh keceriaan dan kebahagiaan ini kita dijumpakan Allah SWT dengan hari suci Hari Raya Idul Fithri 1 Syawal 1432 Hijriyyah. Hari penuh kebahagiaan dan kesenangan.

Bila pada saat yang mulia ini ada yang bertanya ," Kegembiraan apa dan oleh sebab gembira apa kita patut merayakannya saat Idul Fithri tiba? Apakah sekedar datang dan berlalunya 'suatu hari' tanpa satu arti laksana hari-hari biasa yang berlalu dalam kehidupan kita ? Atau ada satu keistimewaan yang patut kita rayakan di dalamnya?

Oleh karena itu, pada kesempatan yang baik ini selaku khatib saya akan mengupas 3 (tiga) kebahagiaan atau rasa gembira dalam memperingati Idul Fithri 1 Syawal 1432 H sebagai berikut : Bahagia karena kita berjumpa dengan bulan yang penuh kebahagiaan (Al-Sa'adat), bahagia karena dapat berbagi kepada sesama  dan bahaia karena bisa bersilaturahmi dan saling bermaafan .


Kebahagiaan yang pertama, yaitu Sempurna menjumpai dan beribadah di bulan Ramadlan.
Ma'asyiral Hadirin Rahimakumullah

Kita sudah memahami bersama bahwa kondisi bahagia dalam situasi apapun adalah hal yang senantiasa dikejar oleh manusia. Manusia ingin hidup bahagia. Hidup tenang, tenteram damai dan sejahtera. Dalam mencapai kebahagiaan ini ada dua macam pola dan watak umum manusia yaitu yang pertama jenis orang yang bekerja keras, peras keringat dan banting tulang untuk menghimpun harta sebanyak-banyaknya tanpa sadar dan ingat sama sekali akan dimensi agama atau ibadah. Dalam benak pikiran mereka  hanya terlintas uang,uang dan uang melulu setiap hari. Kemudian kedua, yaitu orang yang dalam bekerja sadar betul urusan dunia dan akheratnya lalu ia berusaha menyeimbangkan dua poros  kebutuhan  tersebut. Maka dalam pikiran orang ini ada terbersit niat perlunya mengumpulkan kekayaan untuk bekal berjuang dan beribadah demi kehidupan selama-lamanya di akhirat kelak.

Kemudian ada juga orang yang meyakini untuk bahwa untuk mendapat kebahagiaan itu melalui tahta dan kekuasaan. Beragam cara ia lakukan untuk mendapat atau merebut kekuasaan. Sebab menurutnya kekuasaan identik dengan kebahagiaan dan kenikmatan dalam kehidupan. Dengan kekuasaanya seseorang bisa berbuat banyak sesukanya. Orang sakit menyangka bahwa kebahagiaan terletak pada kesehatan. Orang mskin menyangka kebahagiaan terletak pada harta kekayaan.Rakyat jelata mengira kalau kebahagiaan terletak pada kekuasaan. Serta sangkaan-sangkaan lainnya. Bila ini maslahnya patutlah pula kita bertanya, apakah yang dimaksud bahagia itu (happiness)?

Hadirin Rahimakullah Hadaniyallahu Wa iyyakum

Selama ribuan tahun para pemikir telah sibuk memperbincangkan makna kebahagiaan. Kebahagiaan adalah sesuatu yang ada di luar manusia dan bersifat kondisional dan temporal. Jika seseorang sedang berjaya maka di situ ada kebahagiaan. Sebaliknya jika sedang jatuh maka hilanglah kebahagiaan. Dalam pandangan madzhab ini tidak ada kebahagiaan abadi dalam alam jiwa manusia. Kebahagiaan itu bersifat sesaat tergantung kondisi eksternal manusianya. Inilah gambaran kondisi kejiwaan masyarakat Barat; di mana mereka dalam keadaan mencari dan mengejar kebahagiaan tanpa merasa puas dan menetap dalam satu keadaan.

Lalu kebahagiaan macam apakah yang dimaksudkan Islam seperti terdapat dalam  spirit Ramadlan ?
Islam menyatakan bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan itu bukan merujuk pada sifat material jasmani badani insan, bukan kepada diri hayawani sifat basyari dan bukan pula dia itu sifat hayali insani yang hanya dapat dinikmati dalam alam pikir manusia belaka.

Kebahagiaan sejatinya adalah kemenangan iman, untuk hanya tunduk keharibaan Allah SWT. Al-Sa'adat atau bahagia adalah kondisi hati yang dipenuhi dengan keyakinan atau iman dan berperilaku sesuai dengan keyakinanya. Sahabat Rasulullah SAW seperti Bilal ibn Rabah Rd merasa bahagia dapat mempertahankan keimannya meskipun dalam keadaan selalu mendapat penyiksaan. Imam Abu Hanifah Ibn Tsabit pun merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke dalam penjara dan dicambuki setiap hari hanya karena menolak diangkat sebagai hakim negara. Para sahabat nabi yang lainnya pun mereka rela meninggalkan kampung halaman demi mempertahankan iman. Mereka semua bahagia hidup dan menjalani kehidupan dengan membawa iman hingga menemui Rabbnya. Inilah dimensi yang hendak disampaikan Islam dengan datanngnya bulan Ramadlan.

Allahu Akbar 3X
Walillahilhamd.
Kebahagiaan kedua adalah, dapat peduli dan berbagi terhadap sesama. Berbahagia dengan datanya Idul Fitri karena kita dapat mengeluarkan zakat fitrah. Kalau sejenak kita menengok maqasid atau tujuan dan hikmah diwajibkannya ibadah zakat secara umum adalah ternyata ajaran Islam itu  di samping mengupayakan kesucian diri setiap manusia juga mengharap kesucian dan keberkahan harta benda yang dimilikinya. Allah berfirman :


" Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan-dan mensucikan-mereka"
(QS.Al-Taubah : 103)

Kalau demikian kenyataannya, maka kesempatan kita untuk mengeluarkan zakat fitrah adalah suatu kebahagiaan tersendiri. Kita telah diberi kesempatan untuk mensucikan jiwa sekaligus peduli sesama.Karena kebahagiaan dalam merayakan Idul Fithri juga berhak dirsasakan dan dirayakan oleh kaum miskin yang tidak memiliki makanan pokok pada hari raya.

Ma'asyiral Mukminin, sidang Shalat Ied Rh
Adapun kebahagiaan yang ketiga adalah kesempatan kita untuk bersilaturahmi dan bermaf-maafan.
Dewasa ini, hidup penuh tantangan dan terasa berat sekali. Dunia penuh ketidak pastian. Layaknya putaran roda, kadang kita di atas kadang pula harus di bawah. Atau laksana cuaca yang belakangan juga sulit diprediksi, susah ditebak apakah akan cerah, mendung, hujan,atau badai. Sepak terjang dalam dunia ekonomi, bisnis, politik maupun dinamika di tempat kerja pun sulit diramal.

Atas dasar interaksi sosial  seperti tersebut di atas kita tentu menyadari bahwa interaksi atau pola hubung keseharian antar kita dalam komunitas manusia selalu diwarnai oleh berbagai hal. Adakalanya baik, adakalanya buruk. Kadang damai kadang konflik. Dampak hubungan ini tidak selamanya menyakitkan sehingga memunculkan kebencian. Begitu juga tidak semuanya menyenangkan sehingga meninggalkan kecintaan. Pada saat - saat tertentu emosi,egoisme, dan kesombongan bisa saja menguasai diri kita.

Akibat buruk yang kita terima dari sikap orang lain, begitu juga kelakuan tidak bersahabat yang kita tunjukkan kepada orang lain baik sadar atau tidak harus dinetralisir dengan silaturahmi. Kita percaya bahwa Hari Raya Idul Fithri sebagai saat yang tepat untuk menetralisir atau paling tidak meminimalisir ketegangan hubungan antara kita selaku umat manusia. Rasulullah SAW bersabda yang artinya : "Wahai manusia tebarkanlah kedamaian dan sambunglah persaudaraan" (HR. Ahmad dan Tirmidzi).


Sebagai akhir dari khutbah ini,kita berharap mudah-mudahan Idul Fithri kali ini merupakan saat yang dapat mengenmbalikan keimanan kita,di mana ia datang setalah kita menjalani proses latihan jiwa, mensucikan diri dengan harta dan upaya menyambung serta mempererat silaturahmi. Hingga kita berkesimpulan bahwa 3 kebahagiaan itu adalah anugerah Allah SWT yang wajib disyukuri. Allah berfirman :



" Katakanlah dengan karunia Allah dan rahmat-Nya sajalah, hendaknya dengan itu mereka bergembira. Karunia dan rahmat-Nya itu lebih baik dari yang mereka kumpulkan. (QS.Yunus : 58)

Ja'alanallahu wa Iyyakum Minal 'Aaidiina Wal Faaiziin
Wa adkhalanaa Wa Iyyakum Fii Ibaadihis Shalihiiin
Waqul Rabbighfir Warham Wa Anta Khairur Raahimiin


Khutbah ini disampaikan pada Hari Raya Idul Fithri  1 Syawal 1432 Hijriyyah
Tanggal 31 Agustus 2011
Di Masjid Al-Huda Sukajadi Sukajati Haurgeulis Indramayu

Diolah dari Makalah  :
Ustadz Arwani Syaerozy dan Ustadz Abdul Lathief  pada www.pesantrenvirtual.com

Jumat, 26 Agustus 2011

Ramadlan Dan Upaya Evaluasi Moral Kaum Muslimin

Bila ada suatu hal yang bisa membuat kita berbangga atas status iman Islam kita, maka jawabannya adalah bahwa di dalam agama Islam ada bulan yang agung yaitu bulan Ramadlan. Ya kita menganggap  bulan ini laksana tamu agung karena ia pun dijuluki penghulu dari bulan-bulan lainnya (Sayid Al-Syuhuur).
Berikut ini nama-nama istimewa bagi bulan Ramadlan :
  • Syahrun-Mubarak
Dikatakan sebagai Syahrun Mubarak karena seluruh kaum muslimin dan muslimat di seluruh dunia mendapatkan ketenangan, kedamaian, dan keteduhan yang luar biasa dari Allah SWT jika dibandingkan dengan kondisi yang dirasakan pada bulan-bulan selainnya. Indikasi adanya rasa tenang dan damai itu dapat kita temukan pada sikap ,kebiasaan dan kondisi secara umum yang dialami oleh orang-orang yang berpuasa seperti merasakan selera makan yang teramat istimewa meski menu yang tersaji sifatnya biasa-biasa saja. Demikian ini karena timbulnya perasaan khusus pada kesempatan yang khusus pula ,pikiran jadi tenang,hati senang,mental ibadah pun menjadi kuat serta, solidaritas dan toleransi sesama pun menjadi teguh. Pendek kata semua peristiwa yang identik dengan kemaslahatan dan amal sholeh menjadi bertambah (Ziyaadat Al-Khair). Bertambahnya kebaikan dan ketenangan dalam bahasa agama kita kenal dengan istilah Barakah.
  • Syahr Al-Ibadat
Grafik kesadaran beribadah kaum muslimin dan muslimat pada bulan ini cenderung meningkat. Kesadaran beribadah ini ditunjukkan melalui berbagi pelaksanaan ritual keagamaan yang bersifat variatif dan masif. Secara sederhana dapat kita sebutkan contohnya adalah adanya peningkatan jumlah jama’ah shalat baik fardlu maupun sunnah.  Khusus untuk pelaksanaan shalat sunnah tarawih dan witir kecenderungan ini semakin jelas ditandai dengan penuhnya surau-surau, mushalla dan masjid-masjid dengan jama’ah. Bahkan sebagian jama’ah itu ada yang meluber ke luar.
Didukung oleh penyampaian dakwah yang informatif oleh para muballigh semangat atau  ghirah kaum muslimin pun meningkat tinggi. Mereka menjadikan bulan ini sebagai bulan peningkatan amal ibadah, kualitas dan kuantitas taqwa kepada Allah SWT.
Pemahaman ibadat dalam konteks yang lebih luas dan variatif oleh kaum muslinin dapat kita jumpai misalnya pada moment-moment sosial keagamaan dan kesenian (baca:Islami). Dari mulai Tilawah, Sedekah-sedekah, Kegiatan Santuan, Buka Puasa Bersama, Kajian Keislaman sampai kepada penyelenggaraan kontes-kontes seni dan budaya Islam seperti Lomba Busana muslim-muslimah, Kontes Baca Shalawat sampai kontes Genjring atau Rebana.  Semua kegiatan tersebut diyakini sebagai kegiatan yang bernilai ibadah (ta’abbudy) bahkan fahala  semua perbuatan baik di bulan ini akan dilipat gandakan.
  • Syahr Al-Sa'adat
Secara eksplisit Nabi Muhammad SAW menyatakan dalam salah satu hadits yang artinya :
Barang siapa yang bergembira dengan datangnya bulan suci Ramadlan, maka Allah mengharamkan jasadnya dari api neraka.” (Al-Hadits)

Rasa senang dalam konteks ini adalah senang lahir bathin. Hati yang terbuka penuh ikhlas menjalani ibadah di dalamnya. Secara jelas pula pengertian rasa senang itu karena dua hal yakni pertama; rasa senangnya kaum muslimin ketika hendak berbuka puasa dan senang yang kedua ; adalah gembira karena akan bertemu dengan Rabbnya (Allah SWT). 

Jika kegembiraan yang pertama identik dengan hal-hal fisik  semisal  senang makan dan minium selepas lapar dan dahaga seharian penuh, maka senang yang kedua adalah karena kelezatan yang  tiada tara (psikis) yaitu dapat melihat Cahaya Dzat Allah SWT dengan mata kepala .
Begitu pun rasa senang ini jika dikaitkan dengan waktu maka jika senang yang pertama bersifat kekinian dan sementara, maka rasa senang karena bertemu dengan Allah itu terjadinya nanti di akhirat kelak dan bersifat selama-lamanya.

Baik senang dalam artian pertama maupun senang dalam arti yang kedua sesungguhnya bila kita renungkan dan cermati itu merupakan janji yang diberikan Rasulullah SAW kepada umatnya sekaligus jaminan kehidupan pada masa depan (akhirat) sebagai penghuni surga.
Jika sedemikan menakjubkannya hikmah dan dimensi spiritul ibadah puasa itu, maka sudah adakah penghayatan keagamaan yang mendalam di sanubari kaum muslimin muslimat ? inikah kiranya yang masih menjadi tugas kita bersama.

Tanpa bermaksud menggeneralisir persoalan terkait perbedaan pengalaman spiritual kita masing-masing pada bulan Ramadlan,ternyata esensi ajaran di bulan mulia ini telah banyak dilupakan justru oleh sebagian besar kaum muslimin.
Perubahan sikap dan perilaku dari sederhana beralih ke konsumtif ketika memasuki fase-fase akhir Ramadlan, semisal selera dan pemilihan jenis makanan ,pakaian ,fashion, bahkan urusan wisata di saat moment puncak Idul Fithri sungguh telah mengubah pola pikir dan budaya kaum musimn itu sendiri. Seolah olah mau langsung melupakan ajaran mulia di bulan suci Ramadlan mereka cenderung menghargai ceremonial Idul Fithri ,padahal sejatinya Idul Fithri dijadikan moment hidup sederhana , mempertinggi nilai akal budi, mempertajam nurani serta mempersubur semaian spiritual Islam.

Syaikh Nawawi Al-Bantani ketika menafsirkan QS.                                        
Beliau menyitir perilaku dan prinsip hidup para sahabat nabi Muhammad SAW dengan mengatakan :
Shahabat-shabat Rasulullah SAW itu tidak pernah makan makanan karena kelezatannaya,tidak pernah memakai pakaian karena keindahan  dan pernak perniknya. Tetapi mereka itu makan hanya demi menghilangkan rasa lapar dan membantu mereka bisa berdiri tegak beribadah kepada Allah. Dan memakai pakaian sekedar menutupi aurat serta mejaga kondisi tubuh dari cuaca panas dan dingin “1)

Soal perubahan perilaku kaum muslimin pasca Ramdalan ini tentunya menjadi buah pikiran kita bersama. Dan dalam hemat penulis ada beberapa faktor  yang mendorong terjadinya perubahan pola hidup dan sikap mental tersebut. Berikut ini sebab- sebab tersebut disertai uraian solusinya  yaitu :
1.  Pengaruh Globalisasi Dunia
Pengaruh glabalisasi memang masih menjadi faktor utama perubahan perilaku. Utamanya merebaknya sikap hidup hedonis materialis sampai kepada sikap indvidualistis.

2.   Perilaku Para Elit Pejabat Negara dan Daerah sesuai tingkatan masing-masing.
Tingkah polah para pejabat kita yang cenderung amat individualistik menjadi contoh efektif mewabahnya sikap mental negatif ini. Kita kadang tidak habis pikir justru pejabat-pejabat yang beragama Islamlah kebanyakan yang menjadi pelakunya. Mereka ini rata-rata sudah mencapai derajat pangkat dan golongan kepegawaian yang tinggi, bahkan mereka rata-ratanya juga sudah berhaji atau malah berkali-kali haji. Tetapi justru mereka menjadi penghuni jeruji besi yang dingin (penjara)

3.  Pemanfaatan Media Publik bagi Penyampaian Pesan-pesan Moral Keagamaan yang Belum Efektif.
Masyarakat kita ini bagaimana pun masih menghargai adat ketimuran yang salah satu contohnya adalah menghargai pemimpin sepanjang peminpin itu bisa menjadi teladan.
Jika di awal-awal puasa ajakan dan himbauan menghormati datangnya bulan puasa, mengisi kegiatan keagamaan dengan amaliah yang baik di dalamnya, perlunya toleransi dan tenggang rasa terhadap orang yang berpuasa di sampaikan oleh para  tokoh nasional utamanya para pemimpin masing-masing Ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama, Persis, Muhamadiyah, PUI, Al-Irsyad atau pun yang lainnya maka masyarakat ditinggkat bawah itu mendapat sentuhan moral sekaligus merasa terkontrol dan terbimbing jiwanya.
Hal ini amat berbeda dirasa manakala jumlah kuantitas penyampaian dakwah yang berbarengan dengan ikalan yang justeru durasi iklannya lebih banyak. Maka kesan nilai informasinya jelas terbalik. Oleh karenanya sekali lagi perlunya tampilan langsung dari para pemimpin Ormas kepada ummat organisasinya.

4.   Penamanam dan Pengamalan Kembali  Penghayatan Nilai-nilai Agama.
Tentu, diskusi panjang kita akan sia-sia saja jika unsur yang terkahir atau keempat ini terabaikan. Karena berdasarkan pengalaman di lapangan munculnya sikap yang bias terhadap agama   dikalangan masyarakat kita itu karena pemahaman dan pengamalan agama yang monoton dan miskin. Umat dengan kondisi ketaatan agama yang kurang lah yang menjadi pendorong kuat atas tarik ulurnya perpaduan dan perubahan agama dan gaya hidup masyarakatnya.
Haran kita dengan mengkritisi dan mengevaluasi keempat faktor di atas kiranya ajaran Ramadlan yang mendatangkan keberkahan, kedamaian,ketenangan dan ketaqwaan bisa terwujud. Amiiin


Foot Note : 1) Abu Abd Al-Mu'thi Muhammad Nawawi Ibn Umar Ibn Araby Al-Jawi,            Tafsiir Al-Muniir Fi Ma'alim Al-Yanziil Juz 2, Lubnan : Dar Al-Fikr.1980 
Ramadlan, 26-1432 H
Agustus,     26-2011M

Rabu, 17 Agustus 2011

Hadits Al-Ifki

Berita Bohong
Pelajaran Menarik Tentang Bahayanya Sifat Munafik

Hadits Al-Ifky atau berita bohong adalah peristiwa tragis yang secara khusus menyangkut martabat Siti Aisyah Ra. Dalam khazanah pemikiran Islam Sunny -secara kuat- diyakini bahwa semua perkawinan yang dilakukan Rasulullah SAW terhdap wanita yang dipilihnya adalah didasarkan atas perintah dan nilai-nilai keagamaan (mengandung rahasia hukum agama/Asraar al-Tasyri'). Begitupun ketika Nabi SAW merajut biduk rumah tangga dengan Siti Aisyah. Pernikahan ini amat sarat dengan kesejukan wahyu dan keagungan syari'at.

Siti Aisyah yang dinikahi Nabi SAW pada usia belia,karena didikan Allah melalui alam nubuwwah Rasulullah dia bisa dengan cepat menyesuaikan diri dengan kebutuhan dakwah Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Sejak menikah itu dalam hati Siti Aisyah tidak ada orang yang paling  dihormati, dicintai sekaligus disayangi selain Rasulullah Muhammad SAW sendiri dan keluarganya. Peran psikologis kedua orang tuanya secara otomatis tergantikan oleh Rasulullah. Seperti halnya Siti Khadijah yang amat sempurna melengkapi kesempunaan rumah tangga dengan Rasulullah, Siti Aisyah pun dipandang cukup sempurna menemani biduk kehidupan Rasulullah SAW. Dia berperawakan sedang, ramping dan rupawan dan tentu masih belia. Sungguh amat bahagia rumah tangga Rasulullah SAW dengan Aisyah Ra.
Rumah kecil yang disamping masjid itu memancarkan kedamaian dan kebahagiaan walaupun tanpa permadani indah dan gemerlap lampu yang hanyalah tikar kulit bersih sabut dan lentera kecil berminyak samin (minyak hewan).
Di rumah kecil itu terpancar pada diri Ummul Mukminin teladan yang baik bagi istri dan ibu karena ketataatannya pada Allah, rasul dan suaminya. Kepandaian dan kecerdasannya dalam mendampingi suaminya, menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencintainya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencintainya. Aisyah menghibur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sedih, menjaga kehormatan diri dan harta suami tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berda’wah di jalan Allah.
Aisyah radhiyallahu ‘anha juga melalui hari-harinya dengan siraman ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga ribuan hadist beliau hafal.

Keteladanannya dalam membantu pemahaman dakwah Islamiyah menempatkan beliau sebagai salah satu Ummahat al-Mu'minin yang populer sekaligus utama.

Pada saat peristiwa Hadits al-Ifky ini terjadi, usia beliau Siti Aisyah Ra masih dalam hitungan belasan tahun. Sampai kemudian kabar bohong itu menimpa dirinya sebagai istri Rasulullah SAW. Tepatnya terjadi seusai perang dengan Bani Mushthaliq di bulan Sya'ban tahun 5 Hijriyyah.
Dalam peperangan ini sebagian kaum munafikin dapat menilisik masuk ke dalam barisan pasukan kaum muslimin. Atau dengan kata lain peperangan ini diikuti pula oleh orang-orang munafik.

Dalam perjalanan seusai perang itu, rombongan berhenti pada suatu tempat karena Siti Aisyah ada keperluan keluar dari sekedup (Haudaj) nya untuk satu hajat kemudian kembali. Namun tiba-tiba dia merasa kalungnya hilang, lalu dia kembali untuk mencarinya.. Sementara itu rombongan berangkat kembali seperti sediakala dan sperti tidak terjadi apa apa, dengan anggapan bahwa Siti Aisyah sudah berada dalam sekedup itu. Setelah Siti Aisyah mengetahui bahwa sekedupnya sudah berangkat, beliau kemudian duduk di tempatnya semula dan berharap sekedupnya akan kembali menjemputnya.Kebetulan lewat di tempat itu seorang sahabat Nabi yang bernama Shafwan bin Mu'aththal al-Sulamy. Shofwan adalah  seorang sahabat Nabi SAW yang jika pulang seusai perang ia pulang paling belakangan. Demikian ini karena ia memiliki kebiasaan memeriksa,mencari-cari kalau-kalau ada peralatan, barang bawaan dan senjata kaum muslimin yang tertinggal.


Demi dilihatnya ada seseorang yang tertidur, Shafwan terkejut seraya membaca Istirja' ; Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raji'uun. Bacaan istirja' ini kemudian membangunkan Siti Aisyah Ra. Lalu Siti Aisyah dipersilahkan naik unta, sedangkan Shafwan menuntun unta itu sampai kemudian mereka berdua tiba di Madinah.

Setiba di Madinah persepsi orang berbeda-beda berdasarkan pandangan masing-masing. Maka mulailah timbul desas desus dan fitnah yang dilancarkan golongan munafik yang dipimpin Abdullah bin Ubay bin Salul. Fitnah itu semakin hari semakin besar dan meluas. Mengakibatkan keguncangan di kalangan kaum muslimin. Hari-hari yang penuh kepahitan ini dilalui oleh Siti Aisyah dengan deraian air mata. Bahkan pernah terjadi dua hari satu malam air mata beliau yang mulia tidak pernah berhenti menetes hingga Siti Aisyah beranggapan bahwa tangisan itu telah memburaikan hatinya.

Peristiwa berita bohong ini begitu berat diterima oleh Siti Aisyah Ra. Sebagai orang yang masih muda belia dia tidak bisa berbuat apa-apa. Ia mewakilkan hak bicara dari persoalan ini kepada kedua orang tuanya Abu Bakar Shiddiq  dan Ummu Rumman Radliyallahu Anhuma dan berserah diri pada putusan Allah SWT.

Lebih dari satu bulan lamanya Nabi Muhammad SAW mendiamkan Siti Aisyah Ra, dalam pertemuan-pertemuan konfirmatif pun Nabi Muhammad SAW menjauhkan diri dari tempat duduk Siti Aisyah Ra. Air muka Nabi Muhammad SAW sendiri masam dan kusut. Lebih parah lagi peristiwa berita bohong ini hampir menyulut perpecahan dan perang antara suku Aus dan Khazraj, perpecahan dalam keluarga mulia Abu Bakar Shiddiq Ra karena menyeret nama Misthah ibn Utsatsah (anak bibi dari Abu Bakar Shiddiq Ra) ke dalam golongan Abdullah Bin Ubay Bin Salul. Namun Allah Maha Waspada dan masih melindungi kesucian Ahl al-Bait dengan turunnya QS.Al-Nuur : 24 yang menegaskan tentang kehormatan dan kesucian Aisyah dan keluarga Nabi Muhammad SAW. Siti Aisyah benar, tidak salah dan terhormat serta mulia namanya. sedangkan golongan munafik adalah tercela hina serta mendapat siksa baik dunia lebih-lebih akhirat.


Dari fenomena Hadits Ifky ini Allah kiranya memberikan keadilan. Dengan izin dan kehendak-Nya Misthah di akhir hayatnya buta, Hisan menjadi buta dan lumpuh sedangkan Abdullah bin Ubay bin Salul dihukum langsung oleh Rasulullah SAW dan neraka menanti Ibn Ubay.





  • Abu Abdillah Muhammad ibn Ismail Al-Bukhary, Shahih al-Bukhary Juz 2 . Mesir : Maktabah Nashiriyyah,tt.
  • Abu Abd Al-Mu'thi Muhammad Nawawi Ibn Umar Ibn Araby Al-Tanari Al-Jawi, Al-Tafsiir al-Munir Li Ma'aalim al-Tanziil.Libanon : Dar Al-Fikr, 1980

Selasa, 16 Agustus 2011

FASIQ KAFIR DAN MUNAFIK

Anda mungkin pernah mendengar istilah itu bukan ? Ya, ketiga kata tersebut lekat dengan kondisi jiwa kita sebagai manusia biasa. Dalam interaksi sosial, kita sering menjumpai dan merasakan dampak ketiga sifat tersebut. Terkadang memberi kesan menjengkelkan, kebencian mendalam atau bahkan ujud dari nilai keterpaksaan bahkan keputus asaan. Jika yang melakukannya kita sendiri maka tentu kesan yang muncul adalah khilaf kita, keterpaksaan atau kondisi di luar kemampuan seseorang hingga harus berbuat seperti itu.
Orang Fasiq adalah orang yang mengetahui dan meyakini supermasi nilai kebenaran, tetapi dalam kehidupan ia malas mengikutinya terutama jika bertentangan dengan dorongan nafsu syahwat atau kesenangan emosi belaka. Demi kenikmatan hidup ia enteng saja untuk melanggar nilai-nilai kebenaran, meski ia tahu bahwa hal itu buruk (hedonia). Meski demikian ia berharap hanya dirinya yang fasiq dan di dalam hatinya ia berharap agar anaknya tidak menirunya kelakuan buruknya kelak.

Adapun orang kafir adalah kebalikan dari orang mukmin. Jika orang mukmin berpegang konsisten terhadap kebenaran yang yang diimaninya dalam keadaan apapun, orang kafir konsisten dalam hal tidak mempercayai kepada nilai-nilai kebenaran. Secara terbuka ia menyatakan tidak percaya kepada Tuhan, kepada dosa dan kepada kebajikan. Ia hidup menurut ukuran budaya di mana mereka berada, tidak percaya kepada nilai yang bersumber dari wahyu gaib. Ia berbangga dengan kekafirannya dan berusaha mengajak orang lain bergabung dalam kelompoknya seraya memperolok-olok kepercayaan orang beriman.

Sedangkan orang munafik, karakteristiknya dapat disebut orang bermuka dua, berbeda antara kata dan perbuatannya. Jika orang kafir secara terbuka menyatakan kekafirannya, orang munafik justru menyembunyikan kemunafikannya. Secara lahir ia perlihatkan perilaku seakan-akan ia sama dengan orang mukmin yaitu mempercayai nilai-nilai kebenaran, padahal yang sebenarnya ia tidak percaya dan berusaha melecehkan kebenaran di belakang penglihatan orang mukmin.

Orang munafik tak ubahnya musuh dalam selimut, sehari-hari ia bersama kita padahal ia memusuhi kita, mencuri peluang untuk mencelakakan kita. Tanda-tanda orang munafik ada tiga yaitu (1) jika berkata dusta, (2) Jika berjanji ingkar, (3) jika dipercaya khianat.

Karena kualitas itu bersifat psikologis, maka jarak antara satu kualitas  dengan kualitas yang lain tidaklah seterang warna hitam dan putih. Oleh karena itu seorang mukmin -tentu selain para sahabat Nabi SAW-boleh jadi pada dirinya terdapat karekteristik fasiq, nifaq atau bahkan kufur. Seorang mukmin ketika sedang tersinggung misalnya, karena dorongan ingin mempertahankan harga dirinya bisa saja terjadi mengalami distorsi iman, yakni imannya mengalami penipisan sehinga ia melakukan perbuatan kufur. Sama halnya seperti orang pandai terkadang melakukan perbuatan bodoh.



  • Buku Pedoman Pengelolaan Majlis Ta'lim ; Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia Tahun 2009

Sabtu, 30 Juli 2011

Kisah-kisah Teladan

Kisah  Nabi Ibrahim 'Alaihissalaam Menempatkan Ismail dan Ibunya Siti Hajar di Makkah Al-Mukarromah

Diriwayatkan oleh ibnu abbas Ra, beliau berkata ", Nabiyullah Ibrahim alaihissalam datang ke makkah bersama anak dan istrinya. Waktu itu Ismail As masih disusui oleh Hajar. Nabiyullah Ibrahim 'alaihissalam menempatkan Hajar dan anaknya Ismail As di bawah sebuah pohon besar dekat Masjidil Haram (sekarang -pent).

Kala itu tak ada seorang manusiapun dan tiada air. Nabiyullah Ibrahim menempatkan Hajar dan anaknya Ismail As sambil menaruh airdalam gerabah dan wadah kurma di sisi keduanya. Beberapa saat kemudian Nabi yang mulia ini berpaling pergi meninggalkan Hajar. namun secepat itu pula Hajar kemudian mengikuti dan mengejar Nabiyullah Ibrahim 'alaihissalam dari belakang seraya berkata ", Wahai Ibrahim, hendak kemana engkau pergi, dan meninggalkan kami di sebuah lembah yang tidak ada sesuatu dan seorang pun di sini?

Pertanyaan seperti ini berulang kali diajukan Hajar, namun Nabiyullah Ibrahim 'alaihissalam tidak menoleh sedikitpun padanya. Sampai akhirnya hajar bertanya kepadanya ", Apakah Allah memerintahkanmu seperti ini ? nabiyullah Ibrahim 'alaihissalam baru menjawab ", Ya". Kemudian Hajar kembali dan nabiyuulah Ibrahim 'alaihissalam pun berlalu meninggalkannya hingga perjalanan beliau samapi di suatu tempat yang bernama Tsaniyah. Dalam kesenyapan tempat itu dan tidak ada seorang pun yang melihat beliau, nabiyullah Ibrahim 'alaihissalam pun menghadap kiblat, mengangkat kedua belah tangan dan berdoa ", Wahai Tuhanku, sungguh aku telah menempatkan keturunanku di sebuah lembah yang tandus dan tak bertumbuh-tumbuhan...."

Sementara itu Hajar menyusui Ismail As,makan dan minum dari air dan kurma yang masih tersisa. Sampai kemudian air habis, Hajar dan Ismail kehausan. Hajar memandangi Ismail As yang menghentak-hentakkan kakinya ke tanah. Hajar merasa semakin berat hatinya. Kemudian bergegas pergi dan menemukan Shafa-sebuah bukit di dekat gunung Abi Qubais- kemudian ia berdiri di atasnya dan melihat-lihat sekelilingnya tidak ada seorang pun. Lalu hajar turun dari bukit Shafa kembali menuju Makkah sambil mengangkat ujung baju terusannya . lalu kembali lari seperti larinya orang yang amat berat susahnya sampai melewati lembah-lembah itu dan sampai di Marwah. Hajar berdiri di atas bukit Marwah dan ia tidak melihat seorang pun.Lari yang dilakukan Hajar ini sebanyak Tujuh kali.....

Kemudian sesudah Hajar menggenapkan Tujuh kali lari-lari kecil (antara bukit Shafa dan Marwa) Ia mendengar suara sampai kemudian ia berbicara dalam hatinya  diam !! Kemudian ia mendengar suara itu lagi, engkau telah bersuara maka tolonglah aku !" kata Hajar.Tiba-tiba muncul malaikat dari sisi Zam -zam dan menggaruk tanah sekitar Zam-zam dengan sayapnya hingga air pun keluar dan malaikat  pun menjadikannya semacam telaga kecil. Dengan wadah gerabah yang ada kemudian Hajar pun mengambil air itu. Namun setelah diambil air itu keluar dengan derasnya. Maka kemudian hajar meminum air itu dan menyusui Ismail As. malaikat pun berkata"Wahai Hajar jangan takut kehabisan air ini, karena di sini ada rumah Allah yang dibangun oleh anak ini (Ismail As) dan bapaknya (Ibrahim 'alaihissalam) dan Allah tidak menyia-nyiakan ahlinya.

Bangunan rumah itu sendiri dibuat agak tinggi,namun terkadang mudah terkena banjir dari sekelilingnya. Hal seperti ini terus terjadi sampai datangnya generasi Jurhum.

 Adapun silsilah Jurhum adalah Jurhum Ibnu Qahthan Ibnu 'Abir Ibn Syalih Ibn Arfakhsyad ibn Sam ibn Nuh. Jurhum dan saudaranya yang bernama Qathuur adalah orang yang pertama kali berbicara dengan menggunakan bahasa Arab.

 bani Jurhum ini datang untuk singgah dan selanjutnya menetap di Makkah. Mereka melihat banyak burung beterbangan dan berputar-putar di atas air. Hal ini sudah menjadi kebiasaan yang mudah difahami bahwa jika ada burung yang hinggap atau berputar-putar maka berarti di sekitar daerah itu ada air.

 Oleh karena itu ketua rombongan itu menyuruh seorang atau beberapa orang  kurir untuk menyelidiki kebenaran kebenaran isyarat adanya  air ini. Kemudian mereka menemukan air dan kembali memberitahukan kepada rombongan  akan adanya air itu. Kemudian rombongan itu mendatangi Hajar ibunya Ismail As untuk meminta air. Mereka berkata ," bolehkah kami menetap di sini? Hajar menjawab ," Ya boleh, tetapi kalian tidak berhak atas air itu!". Mereka pun menjawab"Ya'. Dan Hajar pun membutuhkan kedamaian jauh dari rasa takut. Rombongan itu pun semakin banyak semakin bertambah banyak hingga membentuk keluarga. Ismail tumbuh menjadi remaja dan belajar bahasa Arab dari mereka. Pertumbuhan Ismail As menjadi remaja itu rupanya amat memuka dan mempesonakan mereka.


                                                               Ismail As Menikahi Gadis Jurhum
 Ketika usia Ismail As menginjak dewasa, kaumnya menikahkan Ismail as dengan seorang gadis dari generasi mereka. Beberapa waktu lamanya kemudian Hajar meninggal dunia.
Sesudah Ismail menikah, nabi Ibrahim 'alaihissalam mendatangi keluarga baru Ismail 'alaihissalam. namun meski nabi Ibrahim 'alaihissalam berusaha menemui Ismail 'alaihissalam, Ismail 'alaihssalam sednag tidak ada di rumah. maka Nabiyullah Ibrahim bertanya pada istrinya Ismail 'alaihissalam ", Kemana Ismail ?'' Perempuan itupun menjawab ", Ia sedang pergi berburu ".  Kemudian nabiyullah Ibrahim 'alaihissalam bertanya lagi ," bagaimana keadaanmu dan keadaan keluargamu?" Perempuan itu menjawab", Kami hidup tidak enak,dan banyak mengadu kepada Nabi Ibrahim 'alaihissalam." Nabiyullah Ibrahim 'alaihissalam berpesan ," Nanti kalau suamimu datang sampaikan kepadanya salam dari saya dan katakan kepadanya agar Ismail mengganti palang pintunya."

 Ketika nabi Isma'ail 'alaihissalam pulang ke rumahnya ia mersakan ada sesuatu maka berkata Ismail 'alaihissalam , " Adakah seseorang yang datang?" Istrinya menjawab ,"Ya", ada seseorang lelaki tua yang menanyakan keadaan kita maka saya menjawabnya, bahwa saya dalam keadaan sulit dan kesusahan. Ismail kembali bertanya ," Apakah ia berpesan sesuatu atau meninggalkan suatu pesan? "Ya' jawab istri Ismail'alaihissalam beliau memerintahkan aku untuk menyampaikan salam nya untukmu dan memerinthakna pula untuk mengganti palang pintunya. Nabi  Ismail 'alaihissalam menjawab " Itu ayahku". dan beliau memerintahkan agar aku menceraikanmu, pulanglah kamu ke keluargamu. Maka nabi Ismail 'alaihissalam menceraikannya dan menikahi gadis yang lain. Kemudian nabi ibrahim 'alaihissalam tinggal sementara waktu dengan Nabi Ismail 'laihissalam.

Lalu nabiyullah Ibrahim 'alaihissalam kembali mendatangi Nabi Ismail, namun tidak dapat menemuinya dan bertanya tentang Ismail kepada istrinya. Istri Ismail menjawab bahwa Ismail sedang berburu. Nabiyullah Ibrahim 'alaihissalam pun bertanya kemali ", Bagaimana kadaan kalian?'' Istrinya berkata ", Kami dalam keadaan baik-baik dan damai serta bersyukur kepada Allah". Nabiyullah Ibrahim bertanya lagi," Apa yang kamu makan? daging, jawab Istri Ismail. nabi Ibrahim bertanya kembali", Apa yang kamu minum? Istrinya menjawab ," Air zam-zam". Kemudian Nabiyullah Ibrahim 'alaihissalam berdoa ", Ya Allah berkahilah makanan dan minuman mereka".

 Ketika Nabi Ismail As pulang, ia bertanya kepada istrinya , " Apakah ada seseorang yang datang kepadamu? Istrinya menjawab", Ya telah datang kepadaku seseorang tua yang mat baik dan berwibawa, kemudian beliau bertanya tentangmu dan akau menjawab. Kemudian bertanya lagi tentangku dan kehidupan kita. maka saya memberi khabar bahwa saya dalam keadaan baik. Ismail bertanya ",Apa beliau Menitipi satu pesan? istrinya menjawab Ya. Beliau menyampaikan salam untukmu dan memrintahkanmu untuk tidak mengganti palang pintumu". Nabi Ismail 'alaihissalam ", Beliau itu ayahku, dan kamulah palang pintu itu". Beliau memerintahkan aku agar menjagamu. Dalam kisah ini  kemudian nabiyullah Ibrahim 'alaihissalam hidup bersama mereka.

Dikisahkan pula bahwa dalam suatu waktu Nabi Ibrahim 'alaihissalam kembali mengunjungi Nabi Ismail As yang kala itu sedang memperbaiki panahnya di dekat sumur zam-zam. Ketika nabi Ismail As melihat Nabiyullah Ibrahim 'alaihissalam beliau berdiri menyambut kedatangan ayahnya. Kemudian keduanya berpelukan sambil berkata Nabiyullah Ibrahin 'alaihissalam ", Wahai Ismail ! Sungguh Allah telah memrintahkan sesuatu kepadaku". nabi Ismail As menanggapi, coba jelaskan apakah gerangan perintah itu wahai ayah ? Nabiyullah Ibrahim menyahut,"Adakah kau mau membantuku ?Ya, saya akan membantu ayah. Nabiyullah Ibrahin 'alaihissalam berkata " Sesungguhnya Allah SWTtelah menyuruhku membangun rumah Allah di tempat ini". Kata nabiyullah Ibrahim sambil memberi isyarat pada bebrapa gundukan di sekelilingnya. Maka  selanjutnya Nabiyullah Ibrahim 'alaihissalam membangun Ka'bah. Nabi Ismail as mengambilkan batu-batu besar. Sedang Nabiyullah Ibrahim 'alaihissalam menatanya sampai bangunan itu meninggi. Sampai ketika bangunan itu telah benar-benar tinggi Nabi Ismail As membawakan batuyang ia letakkan untuk untuk pijakan nabiyullah Ibrahim 'alaihissalam dan seterusnya Nabi Ismail As yang memberi batu Nabiyullah Ibrahim 'alaihissalam yang memasang dan menatanya seraya berdoa ", Rabbanaa taqabbal Minnaa Innaka anta al-Samii' al-'Aliim....".

                                      (Diolah dari : Daliil Al-Faalihiin Jilid 4 : Muhammad Ibn 'Alan Al-Syafi'iy Al-Asy'ary)